Entri Populer

Kamis, 24 Maret 2011

Memahami Peran Media sebagai Watchdog dan Masalahnya di Indonesia

Oleh I Gusti Ngurah Putra

Salah satu fungsi penting yang dijalankan oleh pers dalam masyarakat demokratis adalah pers sebagai lembaga yang menjalankan fungsi pengawasan terhadap berbagai lembaga yang memiliki kekuasaan besar dalam masyarakat. Pers atau media massa menjalankan fungsi sebagai anjing penjaga (watchdog) yang melakukan pengawasan terhadap berbagai lembaga sosial, politik maupun lembaga-lembaga ekonomis yang jika tidak diawasi dapat melakukan monopoli kekuasaan politik, budaya maupun ekonomi.

Sebagai watchdog (anjing penjaga), media  berfungsi untuk mengawasi mereka yang memiliki kekuasaan baik dalam bidang politik (pemerintah), organisasi nirlaba maupun dalam sektor swasta. Pengawasan terhadap mereka yang memiliki kekuasaan perlu dilakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Dalam kaitan ini, pers dianggap sebagai kekuatan keempat setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang dianggap sebagai salah satu kekuatan untuk menjamin adanya check and balances dari berbagai kekuasaan yang ada. Dalam peranan yang demikian ini, pers harus mampu melahirkan laporan-laporan investigatif untuk menampilkan berbagai penyelewengan kekuasaan yang berlangsung dalam berbagai lembaga yang ada. Pers sebagai watchdog  menjadi semakin penting, terutama di negara-negara yang sedang mengalami proses transisi menuju demokrasi, termasuk Indonesia.

Dalam negara yang berada dalam massa transisi, terdapat masalah-masalah akut pembawaan pemerintahan otoriter seperti korupsi yang sistemik, pelanggaran HAM, lemahnya penegakan hukum, kolusi pengusaha dan penguasa, aparat pemerintahan yang tak becus dan berbagai masalah akut lainnya.  Media diharapkan dapat menjadi bagian dari pengawasan terhadap proses transisi ini sehingga mampu mendorong masyarakat untuk melihat sistem politik yang demokratis adalah pilihan yang terbaik.

Konsep anjing penjaga ini  berakar pada gagasan liberal klasik  tentang hubungan kekuasaan antara pemerintah dan masyarakat dalam sebuah negara demokratis. Lebih jauh gagasan ini muncul berkaitan dengan gagasan tentang the fourth estate yang dikemukakan oleh Endmund Burke yang menenmpatkan pers sebagai kekuatan keempat di samping tiga pilar penting demokrasi yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif. 

Sebagai kekuatan keempat media atau pers menjalankan peran sebagai forum untuk diskusi  dan melakukan penyelidikan dan pengawasan terhadap berbagai kekuasaan, terutama yang cendrung absolut atau menjadi monopolitsik. Jika pada awalnya, pengawasan yang dilakukan oleh media semata-mata tertuju kepada kekuasan politik, dalam perkembangannya, pengawasan bisa juga dilakukan terhadap berbagai bentuk kekuasaan dalam masyarakat, termasuk misalnya kekuasan bisnis atau ekonomis atau bahkan terhadap berbagai kekuatan sosial seperti kelompok keagamaan yang cenderung melakukan pemaksanaan dengan menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan berbagai masalah.

Untuk itu, para pekerja pers dituntut agar dapat melakukan peliputan bukan saja yang berupa peristiwa-peristiwa sesaat dalam berbagai bidang kehidupan yang seringkali hanya menampilkan peristiwa-peristiwa yang bersifat permukaan, tetapi juga membuat laporan yang lebih mendalam tentang berbagai kehidupan para pemegang kekuasaan baik politik, ekonomi maupun kekuatan sosial budaya.

Peranan pers sebagai watchdog biasanya dijalankan melalui peliputan investigatif (investigative reporting) terhadap bagaimana sebuah kekuasaan dijalankan. Dengan demikian, pers akan mampu memberi informasi yang berbeda dengan informasi yang mungkin sudah ‘dimanage’ oleh para pemegang kekuasaan untuk menjaga citra/image mereka. 

Saat ini, kemajuan dalam bidang kehumasan dan pemasaran serta munculnya konsultan politik pencitraan telah dimanfaatkan dengan sangat baik oleh pemegang kekuasaan untuk memanage setiap peristiwa sedemikian rupa sehingga mereka selalu ‘tampak baik’ di dalam media massa. Jika laporan-laporan yang demikian menjadi isi media massa/pers, tentu pendidikan untuk khalayak oleh media massa sulit diharapkan terjadi. Yang terjadi justru usaha untuk memperdaya warga negara melalui manipulasi laporan dalam media.

Melalui liputan investigatif yang dilakukan media massa sebagai pengejawantahan peran sebagai watchdog,  media mampu mempengaruhi bagaimana sebuah kekuasaan bisa diarahkan untuk menjadi lebih baik, adil dan membawa kemaslahatan bagi masyarakat.  Protess dkk (seperti dikutip Coronel dalam makalahnya The Media as Watchdog untuk  Workshop Harvard-World Bank 29-30 Mei 2008, di Harvard Kennedy School of Government), mengindentifikasi tiga dampak yang dapat dihasilkan dari pelaksanaan peranan pers sebagai watchdog ini.

Pertama,  dampak yang dikategorikan sebagai ‘deliberative’ yaitu adanya dampak pada terbangunnya kemauan (terutama) pemerintah untuk mendiskusikan berbagai masalah dan solusinya. Kedua, dampak individual, yakni ketika para individu yang melakukan kesalahan mendapat sanksi sampai pada tingkat pemecatan atau pemakzulan dari jabatan ketika ini dilakukan oleh seorang pejabat bahkan sampai pada level Presiden, semisal Estrada di Filipina. Ketiga, dampak substantif, ketika terjadi perubahan-perubahan kebijakan, peraturan, prosedur bahkan kelembagaan pemerintah sebagai hasil dari adanya investigatif reporting.

Persoalannya, pers sebagai anjing penjaga saat ini  justru  sedang dibelit banyak masalah dan kendala, sehingga perannya sebagai anjing penjaga menjadi lemah. Meminjam ungkapan  James Curran, saat ini ada kecenderungan anjing penjaga di bawah peliharaan para pemodal cenderung tertidur lelap, private watchdogs sleep.’ Atau kalau diinterpretasi ulang, anjing penjaga yang sudah dipelihara para majikan pemilik modal atau para juragan sangat sulit untuk diharapkan dapat menjalankan fungsinya sebagai anjing pengawas yang selalu awas terhadap para penguasa dalam tiga dimensi kehidupan tadi. 

Pers sebagai watchdog dalam kenyataan sekarang sudah mulai diikat kakinya dan dijinakkan gonggongannya. Betapapun, anjing biasanya sangat paham dengan tuannya. Dia tak akan menggonggong apalagi menggigit tuannya, walau mungkin tuannya melakukan tindakan yang mencurigakan. Dia hanya menggonggong orang asing yang tidak begitu dikenalnya.

Ibarat anjing,  pers juga dapat digunakan oleh para juragan untuk menjadi pengawas untuk lawan politik, lawan bisnis sehingga  ada media yang gencar mengolah suatu isu, tetapi membiarkan isu lain. Ada isu yang diblow-up dan ada isu yang sengaja tidak diberikan perhatian yang memadai. Pers akhirnya melupakan tugas yang lebih penting untuk menyalak pada setiap bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang ada.

Ini terjadi mengingat dalam kehidupan pers saat ini sudah terjadi tumpang tindih dalam kepemilikan.  Pers sudah mulai dimiliki oleh pengusaha yang juga sekaligus terjun sebagai politisi. Sebagian dari mereka sadar dengan kekuatan media yang dapat dimanfaatkan untuk meraih keuntungan politis. Dalam keadaan demikian, sangat sulit bisa diharap media massa dapat menjadi anjing penjaga yang galak terhadap kekuasaaan.

Saat ini banyak juga pers yang diharapkan berfungsi sebagai watchdog telah dipelihara oleh orang atau lembaga yang harus digonggongnya. Pada level kelembagaan, dapat disaksikan kecenderungan terjadinya pemusatan atau penguasaan media media oleh para pemilik modal yang kemudian juga terjun dalam politik. Ini menyebabkan pers menjadi serba ragu dalam melakukan pengawasan.

Pada level praktek jurnalistik, masih dijumpai wartawan-wartawan yang menggunakan kewartawanannya untuk melakukan pemerasan atau hanya mencari pendapatan besar tanpa mampu menjalankan fungsi kewartawanan sebagaimana mestinya yakni mengungkap berbagai realitas sosial yang merugikan kehidupan masyarakat. Masih cukup banyak wartawan amplop atau bodrex yang justru dapat melemahkan peranan pers sebagai watchdog.

Sebenarnya, jika pers mampu menjalankan peranannya sebagai anjing pengawas dengan baik, banyak penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi dapat dicegah dan kehidupan berbangsa dan bernegara bisa lebih baik karena para pemilik kekuasaan dapat menjalankan kekuasaannya demi untuk kepentingan masyarakat.

7 komentar:

  1. mas ngurah ada literatur yang terkait dengan media sebagai watch dog gak mas?

    BalasHapus
  2. Trims artikelnya.

    Saya berharap alinea terakhir bisa dibahas lebih mendalam. Seperti pepatah "Who watches the watchers?". Akan lebih baik bila ada organisasi/ badan/ tim baik bisa di internal pers tersebut atau external, yang bisa setiap saat mengecek kode etik jurnalisme dari wartawan/ newscaster/ pekerja pers lainnya.

    Yang menarik di artikel Anda, kata "watchdog" di amerika justru bukan melekat pada jurnalisnya namun lebih umum dipakai pada mereka yang menjaga integritas jurnalis tersebut.
    https://en.wikipedia.org/wiki/Watchdog_journalism

    BalasHapus
  3. apa watchdog bisa disamakan dengan teori, seperti kita ketahui the fourth estate teori edmund burke hampir sama dengan watchdog

    BalasHapus
  4. Tambahin gambar watchdog dong min...

    BalasHapus