Entri Populer

Kamis, 24 Maret 2011

Ketika Pers (Hanya) Menjadi Corong Aparat

oleh I Gusti Ngurah Putra
Drama Gayus dalam pemberitaan media massa akan masih mendominasi pemberitaan media massa kita dalam masa-masa mendatang. Besarnya perhatian media massa untuk memberi ruang yang memadai terhadap kasus ini perlu mendapat apresiasi karena media tetap menjadi pilar penting dalam menjadikan warga negara selalu awas terhadap berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan di negara ini (abuse of power).

Namun demikian di balik pemberitaan yang cukup gencar dan juga perdebatan, ejekan yang meluas melalui berbagai media sosial yang ada sepertinya tidak akan mampu menggerakkan penegak hukum untuk membongkar akar dari segala bentuk penyalahgunaan kekuasan yang terjadi. Di satu sisi, aparat penegak hukum kita seperti berputar-putar untuk mencari hal-hal yang tidak sangat substansial sehingga mampu mengungkap mafia yang berada di balik kasus Gayus ini. Di sisi lain, kita juga melihat media massa seperti hanya menjadi corong bagi kepentingan aparat sehingga  publik hanya mendapat laporan yang berputar-putar saja.

***
Membaca berbagai berita media massa di Indonesia belakangan ini, saya teringat dengan sebuah buku menarik yang ditulis oleh Tom Koch yang berceritra tentang gagalnya jurnalisme menjalankan fungsi hakikinya sebagai pencari dan pengabar kebenaran, seperti yang diangankan oleh para tokoh yang berniat menjadikan jurnalisme sebagai sebuah profesi yang terhormat.

Oleh karena itu, bagi siapapun yang berminat dalam bidang jurnalisme dan atau  yang terjun ke dalam dunia jurnalisme, tampaknya belum akan afdol kalau belum membaca buku tulisan Tom Koch, The News as Myth: Text and Context in Journalism. Koch  menyatakan bahwa para reporter jarang melakukan investigasi  mendalam terhadap peristiwa kejahatan dan sangat tergantung kepada penjelasan polisi atau sumber resmi yang masih bisa dipertanyakan.

Melalui berbagai contoh berita tentang kasus kematian yang diliput pers di Amerika, Koch menyatakan bahwa  berbeda dengan apa yang didengung-dengungkan oleh media sebagai penyaji realitas,  teks berita di sejumlah media justru mengaburkan realitas. Kenapa demikian?

Beberapa media ketika meliput suatu peristiwa tidak berusaha untuk mencari bukti adanya peristiwa melalui narasumber yang dapat diandalkan. Peranan polisi sebagai narasumber lebih diutamakan atau bahkan dijadikan satu-satunya sumber, sementara keterangan ahli forensik yang tentunya lebih tepat untuk menjawab soal penyebab kematian seringkali dipinggirkan atau bahkan tidak pernah dijadikan  informasi berharga.

Sebagai konsekuensnya, sebuah kematian  lebih sering diberitakan sebagai peristiwa yang wajar atau bukan sebagai sebuah peritiswa pembunuhan, sehingga kasusnya akan ditutup. Menurut Koch, keterangan ahli forensik bisa jadi memberi kesimpulan yang berbeda tentang sebuah kematian dibandingkan dengan keterangan yang diberikan oleh aparat.

Di Indonesia, kasus seperti ini juga pernah terjadi. Kematian seorang arkeolog yang menjadi saksi ahli dalam pencurian benda budaya di kraton Mangkunegara oleh polisi pada awalnya disebutkan sebagai akibat kecelakaan. Keluarga korban tidak terima dengan itu, dan menduga kematiannya sebagai akibat kekerasan. Tetapi, tampaknya bukti-bukti untuk mengungkap penyebab kematian itu sudah hilang semua sehingga polisi pun mengalami kesulitan dan jadilah ini menjadi salah satu kasus hitam di antara berbagai kasus kematian yang ada di Yogyakarta seperti kematian wartawan Bernas Fuad M. Syafruddin.

Dalam kasus Gayus dan berbagai kasus kejahatan  lainnya, pers kita sangat tergantung secara berlebihan pada keterangan polisi atau sumber-sumber formal lainnya. Ketergantungan ini bisa berimplikasi serius karena pembelokan kasus, penyebab sebuah kejahatan dan keterlibatan orang-orang dalam kasus kriminal dapat dikaburkan dan justru melibatkan orang yang tak berdaya.

Masih tersimpan jelas dalam ingatan kita dengan kasus kematian wartawan Bernah di Yogyakarta. Seorang Iwik dengan mudahnya dicokok sebagai pembunuh Udin sementara Edy Wuryanto dengan enaknya membuang alat bukti penting ke laut. Untungnya, perlawanan terhadap rekayasa ini menerus dilakukan dan Iwik akhirnya dibebaskan, tetapi siapa pembunuh Udin yang sebenarnya, sampai sekarang masih menjadi misteri.

Dari berbagai kasus yang ada, ketidakmampun pers dan ketergantungannya pada sumber-sumber resmi, terutama dari pihak kepolisian atau aparat penegak hukum bisa menjadikan pers terjebak hanya menjadi corong aparat, bukan pencari dan penyaji kebenaran kepada publik. Semoga kasus Gayus tidak membuat pers menjadi bagian orkesterasi yang sedang dijalankan oleh para punggawa di negeri ini.

Memahami Peran Media sebagai Watchdog dan Masalahnya di Indonesia

Oleh I Gusti Ngurah Putra

Salah satu fungsi penting yang dijalankan oleh pers dalam masyarakat demokratis adalah pers sebagai lembaga yang menjalankan fungsi pengawasan terhadap berbagai lembaga yang memiliki kekuasaan besar dalam masyarakat. Pers atau media massa menjalankan fungsi sebagai anjing penjaga (watchdog) yang melakukan pengawasan terhadap berbagai lembaga sosial, politik maupun lembaga-lembaga ekonomis yang jika tidak diawasi dapat melakukan monopoli kekuasaan politik, budaya maupun ekonomi.

Sebagai watchdog (anjing penjaga), media  berfungsi untuk mengawasi mereka yang memiliki kekuasaan baik dalam bidang politik (pemerintah), organisasi nirlaba maupun dalam sektor swasta. Pengawasan terhadap mereka yang memiliki kekuasaan perlu dilakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Dalam kaitan ini, pers dianggap sebagai kekuatan keempat setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang dianggap sebagai salah satu kekuatan untuk menjamin adanya check and balances dari berbagai kekuasaan yang ada. Dalam peranan yang demikian ini, pers harus mampu melahirkan laporan-laporan investigatif untuk menampilkan berbagai penyelewengan kekuasaan yang berlangsung dalam berbagai lembaga yang ada. Pers sebagai watchdog  menjadi semakin penting, terutama di negara-negara yang sedang mengalami proses transisi menuju demokrasi, termasuk Indonesia.

Dalam negara yang berada dalam massa transisi, terdapat masalah-masalah akut pembawaan pemerintahan otoriter seperti korupsi yang sistemik, pelanggaran HAM, lemahnya penegakan hukum, kolusi pengusaha dan penguasa, aparat pemerintahan yang tak becus dan berbagai masalah akut lainnya.  Media diharapkan dapat menjadi bagian dari pengawasan terhadap proses transisi ini sehingga mampu mendorong masyarakat untuk melihat sistem politik yang demokratis adalah pilihan yang terbaik.

Konsep anjing penjaga ini  berakar pada gagasan liberal klasik  tentang hubungan kekuasaan antara pemerintah dan masyarakat dalam sebuah negara demokratis. Lebih jauh gagasan ini muncul berkaitan dengan gagasan tentang the fourth estate yang dikemukakan oleh Endmund Burke yang menenmpatkan pers sebagai kekuatan keempat di samping tiga pilar penting demokrasi yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif. 

Sebagai kekuatan keempat media atau pers menjalankan peran sebagai forum untuk diskusi  dan melakukan penyelidikan dan pengawasan terhadap berbagai kekuasaan, terutama yang cendrung absolut atau menjadi monopolitsik. Jika pada awalnya, pengawasan yang dilakukan oleh media semata-mata tertuju kepada kekuasan politik, dalam perkembangannya, pengawasan bisa juga dilakukan terhadap berbagai bentuk kekuasaan dalam masyarakat, termasuk misalnya kekuasan bisnis atau ekonomis atau bahkan terhadap berbagai kekuatan sosial seperti kelompok keagamaan yang cenderung melakukan pemaksanaan dengan menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan berbagai masalah.

Untuk itu, para pekerja pers dituntut agar dapat melakukan peliputan bukan saja yang berupa peristiwa-peristiwa sesaat dalam berbagai bidang kehidupan yang seringkali hanya menampilkan peristiwa-peristiwa yang bersifat permukaan, tetapi juga membuat laporan yang lebih mendalam tentang berbagai kehidupan para pemegang kekuasaan baik politik, ekonomi maupun kekuatan sosial budaya.

Peranan pers sebagai watchdog biasanya dijalankan melalui peliputan investigatif (investigative reporting) terhadap bagaimana sebuah kekuasaan dijalankan. Dengan demikian, pers akan mampu memberi informasi yang berbeda dengan informasi yang mungkin sudah ‘dimanage’ oleh para pemegang kekuasaan untuk menjaga citra/image mereka. 

Saat ini, kemajuan dalam bidang kehumasan dan pemasaran serta munculnya konsultan politik pencitraan telah dimanfaatkan dengan sangat baik oleh pemegang kekuasaan untuk memanage setiap peristiwa sedemikian rupa sehingga mereka selalu ‘tampak baik’ di dalam media massa. Jika laporan-laporan yang demikian menjadi isi media massa/pers, tentu pendidikan untuk khalayak oleh media massa sulit diharapkan terjadi. Yang terjadi justru usaha untuk memperdaya warga negara melalui manipulasi laporan dalam media.

Melalui liputan investigatif yang dilakukan media massa sebagai pengejawantahan peran sebagai watchdog,  media mampu mempengaruhi bagaimana sebuah kekuasaan bisa diarahkan untuk menjadi lebih baik, adil dan membawa kemaslahatan bagi masyarakat.  Protess dkk (seperti dikutip Coronel dalam makalahnya The Media as Watchdog untuk  Workshop Harvard-World Bank 29-30 Mei 2008, di Harvard Kennedy School of Government), mengindentifikasi tiga dampak yang dapat dihasilkan dari pelaksanaan peranan pers sebagai watchdog ini.

Pertama,  dampak yang dikategorikan sebagai ‘deliberative’ yaitu adanya dampak pada terbangunnya kemauan (terutama) pemerintah untuk mendiskusikan berbagai masalah dan solusinya. Kedua, dampak individual, yakni ketika para individu yang melakukan kesalahan mendapat sanksi sampai pada tingkat pemecatan atau pemakzulan dari jabatan ketika ini dilakukan oleh seorang pejabat bahkan sampai pada level Presiden, semisal Estrada di Filipina. Ketiga, dampak substantif, ketika terjadi perubahan-perubahan kebijakan, peraturan, prosedur bahkan kelembagaan pemerintah sebagai hasil dari adanya investigatif reporting.

Persoalannya, pers sebagai anjing penjaga saat ini  justru  sedang dibelit banyak masalah dan kendala, sehingga perannya sebagai anjing penjaga menjadi lemah. Meminjam ungkapan  James Curran, saat ini ada kecenderungan anjing penjaga di bawah peliharaan para pemodal cenderung tertidur lelap, private watchdogs sleep.’ Atau kalau diinterpretasi ulang, anjing penjaga yang sudah dipelihara para majikan pemilik modal atau para juragan sangat sulit untuk diharapkan dapat menjalankan fungsinya sebagai anjing pengawas yang selalu awas terhadap para penguasa dalam tiga dimensi kehidupan tadi. 

Pers sebagai watchdog dalam kenyataan sekarang sudah mulai diikat kakinya dan dijinakkan gonggongannya. Betapapun, anjing biasanya sangat paham dengan tuannya. Dia tak akan menggonggong apalagi menggigit tuannya, walau mungkin tuannya melakukan tindakan yang mencurigakan. Dia hanya menggonggong orang asing yang tidak begitu dikenalnya.

Ibarat anjing,  pers juga dapat digunakan oleh para juragan untuk menjadi pengawas untuk lawan politik, lawan bisnis sehingga  ada media yang gencar mengolah suatu isu, tetapi membiarkan isu lain. Ada isu yang diblow-up dan ada isu yang sengaja tidak diberikan perhatian yang memadai. Pers akhirnya melupakan tugas yang lebih penting untuk menyalak pada setiap bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang ada.

Ini terjadi mengingat dalam kehidupan pers saat ini sudah terjadi tumpang tindih dalam kepemilikan.  Pers sudah mulai dimiliki oleh pengusaha yang juga sekaligus terjun sebagai politisi. Sebagian dari mereka sadar dengan kekuatan media yang dapat dimanfaatkan untuk meraih keuntungan politis. Dalam keadaan demikian, sangat sulit bisa diharap media massa dapat menjadi anjing penjaga yang galak terhadap kekuasaaan.

Saat ini banyak juga pers yang diharapkan berfungsi sebagai watchdog telah dipelihara oleh orang atau lembaga yang harus digonggongnya. Pada level kelembagaan, dapat disaksikan kecenderungan terjadinya pemusatan atau penguasaan media media oleh para pemilik modal yang kemudian juga terjun dalam politik. Ini menyebabkan pers menjadi serba ragu dalam melakukan pengawasan.

Pada level praktek jurnalistik, masih dijumpai wartawan-wartawan yang menggunakan kewartawanannya untuk melakukan pemerasan atau hanya mencari pendapatan besar tanpa mampu menjalankan fungsi kewartawanan sebagaimana mestinya yakni mengungkap berbagai realitas sosial yang merugikan kehidupan masyarakat. Masih cukup banyak wartawan amplop atau bodrex yang justru dapat melemahkan peranan pers sebagai watchdog.

Sebenarnya, jika pers mampu menjalankan peranannya sebagai anjing pengawas dengan baik, banyak penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi dapat dicegah dan kehidupan berbangsa dan bernegara bisa lebih baik karena para pemilik kekuasaan dapat menjalankan kekuasaannya demi untuk kepentingan masyarakat.